Moral Injury: Luka Batin yang Tak Terlihat Tapi Menghantui, Pernah Mengalaminya? - health Cantika.com

Advertisement
Advertisement
Advertisement

Moral Injury: Luka Batin yang Tak Terlihat Tapi Menghantui, Pernah Mengalaminya?

foto-reporter

Reporter

google-image
Ilustrasi wanita stress. TEMPO/Zulkarnain

Ilustrasi wanita stress. TEMPO/Zulkarnain

Advertisement

CANTIKA.COM, Jakarta - Pernahkah kamu merasa dihantui oleh keputusan yang kamu buat di masa lalu, terutama ketika keputusan itu bertentangan dengan nilai moral yang kamu pegang erat? Atau menyaksikan sesuatu yang salah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, lalu rasa bersalahnya membekas hingga sekarang? Bisa jadi, kamu mengalami moral injury.

Berbeda dari trauma biasa atau gangguan stres pascatrauma (PTSD), moral injury adalah luka batin yang muncul saat seseorang melakukan, menyaksikan, atau gagal mencegah tindakan yang melanggar nilai moral atau etika pribadinya. Meski tak selalu tampak dari luar, luka ini bisa memengaruhi cara pandang seseorang terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan makna hidup itu sendiri.

Dari Medan Perang ke Kehidupan Sehari-hari

Istilah moral injury pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Jonathan Shay, seorang psikiater militer, saat menangani veteran perang. Banyak dari mereka mengalami kehancuran batin bukan hanya karena pertempuran, tapi karena merasa dikhianati oleh pemimpin atau sistem yang seharusnya mereka percaya.

Namun kini, konsep moral injury tak lagi eksklusif bagi militer. Di masa pandemi COVID-19, banyak tenaga medis yang mengalaminya. Bayangkan berada di ruang ICU, harus memilih pasien mana yang mendapat ventilator karena keterbatasan alat. Atau harus menyaksikan pasien meninggal seorang diri karena protokol kesehatan. Dilema etis seperti itu bisa meninggalkan luka yang dalam.

Tak hanya itu, guru, jurnalis, aktivis, bahkan kita sebagai individu biasa bisa mengalaminya. Misalnya saat kita diam terhadap ketidakadilan karena takut kehilangan pekerjaan, atau ketika gagal melindungi orang yang kita sayangi dari kekerasan. Luka itu bukan karena apa yang dilakukan orang lain, tapi karena apa yang kita tidak lakukan.

Gejala yang Sering Diabaikan

Orang yang mengalami moral injury sering merasakan kombinasi emosi seperti rasa bersalah, malu, kecewa, marah, atau bahkan jijik terhadap diri sendiri. Beberapa mulai mempertanyakan kepercayaan mereka, menarik diri dari lingkungan sosial, atau merasa tidak pantas mendapatkan pengampunan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berkembang menjadi depresi, kecemasan, atau burnout berat.

Sayangnya, karena belum banyak dibahas, moral injury sering tidak dikenali. Banyak orang hanya merasa “lelah secara emosional” tanpa tahu bahwa akar masalahnya lebih dalam.

Jalan Menuju Pemulihan

Tak seperti luka fisik yang bisa sembuh dengan waktu, moral injury butuh proses pemulihan yang aktif. Psikoterapi dengan pendekatan seperti terapi naratif atau terapi berbasis nilai bisa sangat membantu. Beberapa juga menemukan kekuatan lewat spiritualitas, komunitas, atau tindakan rekonsiliasi, seperti meminta maaf atau berbagi kisah mereka agar tidak merasa sendirian.

Yang paling penting, moral injury bukan tanda kelemahan. Justru, itu muncul karena kamu punya nilai dan empati yang mendalam. Mengenali luka ini adalah langkah pertama untuk menyembuhkannya.

Kalau kamu atau orang terdekatmu merasa terbebani oleh rasa bersalah yang mendalam, jangan ragu mencari bantuan. Bicarakan dengan profesional, komunitas, atau orang yang kamu percaya. Luka moral bukan akhir dari cerita, itu bisa jadi awal dari perjalanan penyembuhan yang bermakna.

Pilihan Editor: Studi Terbaru Ungkap Aktivitas Fisik Ringan Dapat Turunkan Risiko Kanker, Ini Penjelasannya

NATIONAL CENTER OF PTSD | THE MORAL INJURY PROJECT

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Advertisement

Recommended Article

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."
Advertisement