Perjalanan Kesehatan Paus Fransiskus: dari Paru-Paru Satu hingga Akhir Hayat di Usia 88 Tahun - health Cantika.com

Advertisement
Advertisement
Advertisement

Perjalanan Kesehatan Paus Fransiskus: dari Paru-Paru Satu hingga Akhir Hayat di Usia 88 Tahun

foto-reporter

Reporter

google-image
Paus Fransiskus menyampaikan pidato dan berkat tradisional Natal Urbi et Orbi dari balkon utama Basilika Santo Petrus di Vatikan, pada 25 Desember 2024. Reutres/Yara Nardi

Paus Fransiskus menyampaikan pidato dan berkat tradisional Natal Urbi et Orbi dari balkon utama Basilika Santo Petrus di Vatikan, pada 25 Desember 2024. Reutres/Yara Nardi

Advertisement

CANTIKA.COM, JakartaPada tanggal 21 April 2025, dunia dikejutkan oleh kabar duka bahwa Paus Fransiskus atau yang sering dikenal sebagai Pope Francis, pemimpin umat Katolik sedunia, tutup usia dalam usia 88 tahun. Beliau mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Gemelli, Roma, setelah berjuang melawan pneumonia ganda yang memperparah kondisi kesehatannya. Kepergian Paus Fransiskus bukan hanya kehilangan bagi umat Katolik, tapi juga bagi dunia yang mengenalnya sebagai sosok yang penuh kasih, rendah hati, dan berani membawa perubahan di tengah tradisi yang kuat.

Namun jauh sebelum menjadi pemimpin spiritual Vatikan, Paus Fransiskus yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires pada tahun 1936 sudah akrab dengan tantangan kesehatan yang tak ringan.

Keteguhan Hati Sejak Muda

Pada usia 21 tahun, beliau sempat mengalami penyakit paru-paru parah yang mengharuskannya menjalani operasi pengangkatan sebagian paru-paru kanan (lobektomi). Banyak yang menganggap bahwa kondisi ini akan menghambat masa depannya, apalagi dalam menjalani hidup sebagai imam yang dikenal dengan kesibukan fisik dan mental yang tinggi. Tapi justru sebaliknya, ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat, rendah hati, dan memiliki daya tahan luar biasa terhadap tekanan.

Ujian Fisik di Masa Kepausan

Sejak terpilih sebagai Paus pada tahun 2013, Paus Fransiskus menghadapi berbagai tantangan kesehatan, namun tak pernah sekalipun menunjukkan tanda-tanda menyerah. Pada tahun 2021, ia menjalani operasi besar untuk mengangkat sebagian usus besar akibat divertikulitis, kondisi yang menyebabkan peradangan di dinding usus. Meski operasi ini berhasil, dampaknya terasa hingga beberapa tahun kemudian.

Tahun-tahun selanjutnya memperlihatkan kondisi fisik yang semakin melemah. Paus Fransiskus sempat beberapa kali dirawat karena infeksi pernapasan, termasuk bronchitis akut pada tahun 2023 dan 2024 yang membuatnya harus membatalkan beberapa kegiatan penting, termasuk partisipasinya di KTT Iklim COP28 di Dubai.

Meski mobilitasnya semakin terbatas dan ia mulai menggunakan kursi roda serta tongkat karena gangguan lutut dan sciatica kronis, beliau tetap menjalankan tugas kepausan, bahkan tetap menerima tamu dan berpidato di hadapan publik.

Saat-Saat Terakhir yang Penuh Doa

Pada Februari 2025, Paus Fransiskus kembali dilarikan ke rumah sakit karena infeksi bronchitis yang memburuk menjadi pneumonia ganda. Kondisinya sempat stabil, namun kemudian mengalami krisis pernapasan dan gangguan ginjal ringan. Ia dirawat di ruang intensif selama lima minggu dengan bantuan ventilator dan prosedur medis lanjutan.

Meski Vatikan sempat mengumumkan adanya perbaikan, kondisi beliau terus menurun. Dalam minggu-minggu terakhir hidupnya, Paus Fransiskus tetap meminta untuk didampingi doa, menunjukkan sikap pasrah namun penuh keteguhan hingga akhir hayatnya.

Warisan yang Tak Terhapuskan

Bagi banyak orang muda, Paus Fransiskus bukan sekadar pemimpin agama. Ia adalah suara harapan, terutama bagi kaum marginal, korban ketidakadilan, dan generasi muda yang mencari arah dalam dunia yang semakin kompleks. Ia dikenal lantang menyuarakan isu lingkungan, kesetaraan, dan kasih tanpa syarat, nilai-nilai yang resonan dengan nilai-nilai kemanusiaan global hari ini.

Kejujuran dan keterbukaannya soal kesehatan pribadi juga menjadi bentuk keberanian tersendiri. Di tengah budaya Vatikan yang selama ini dikenal tertutup soal kondisi Paus, Paus Fransiskus justru memilih untuk terbuka dan terus berkarya di tengah keterbatasan fisik.

Paus Fransiskus mungkin telah pergi secara fisik, namun semangatnya tetap hidup dalam hati jutaan orang. Ia menunjukkan pada dunia bahwa kepemimpinan bukan tentang kekuatan tubuh, tapi kekuatan hati. Bahwa kasih yang tulus dan keberanian untuk berubah adalah bentuk kekuatan sejati. Dan yang paling penting, ia mengajarkan bahwa sakit bukanlah akhir dari kontribusi, tapi bisa jadi awal dari cinta yang paling murni.

Selamat jalan, Bapa Suci. Warisanmu akan terus menyala.

PEOPLE | EWTN VATICAN | VATICAN NEWS

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Advertisement

Recommended Article

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."
Advertisement