CANTIKA.COM, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sebagai Undang-Undang dalam sidang paripurna yang digelar Kamis, 20 Maret 2025.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan terima kasih kepada masyarakat yang terlibat dalam pembahasan revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tersebut.
"Kami berterima kasih kepada lembaga swadaya masyarakat yang ikut mengoreksi terhadap RUU TNI tersebut," ujarnya seperti dilansir dari Tempo.
Sebelumnya, tagar #TolakRUUTNI bergema di media sosial sebagai bentuk keresahan masyarakat karena berpotensi mengancam kebebasan sipil dan memperluas peran militer dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, aksi demonstrasi di berbagai daerah kian gencar digelar.
Lantas, bagaimana dampak UU TNI pada perempuan dan anak-anak? Berikut penjelasan lengkapnya.
Pengaruh Pengesahan RUU TNI bagi Perempuan dan Anak-anak
Artikel Terkait:
Pengesahan UU TNI memunculkan kekhawatiran masyarakat, khususnya pola militerisasi yang terjadi pada era Orde Baru, di mana keterlibatan TNI dalam urusan sipil kian meluas, sehingga mengikis supremasi hukum dan demokrasi.
Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Lebih lanjut militerisme dari perspektif feminis, akan mengancam demokrasi dan kebebasan perempuan dalam beberapa cara yang signifikan.
Akibatnya dapat memperkuat struktur kekuasaan hierarkis dan otoriter, yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan gender.
Sebagai informasi, militerisme kerap dikaitkan dengan struktur kekuasaan yang didominasi kaum adam. Akibatnya, mengikis peran perempua dalam pengambilan keputusan tentang keamanan. Padahal, feminisme mendorong adanya perspektif perempuan dalam kebijakan perdamaian.
Lebih lanjut, peneliti Carol John menganalisis bahasa maskulin dalam kebijakan pertanan dan keamanan global. Esai buatannya yang berjudul Sex and Death in the Rational World of Defense Intellectuals tahun 1987 menunjukkan, cara bahasa militer yang teknokratis menyembunyikan dampak kemanusiaan dari perang, terutama terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Masuknya tentara ke dalam ranah sipil cenderung memiliki kapasitas serta retorika militeristik ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Terlebih, jika statusnya masih menjadi anggota militer aktif.
Mendiang Gloria Jean Watkins atau yang akrab disapa Bell Hooks, seorang feminis ragam warna kulit dan interseksional, turut mengkritik militerisme sebagai bagian dari sistem patriarki dan kapitalisme rasis. Menurutnya, militerisme memperkuat budaya kekerasan dan dominasi yang merugikan perempuan. Terutama perempuan dari kelompok marginal.
Untuk diketahui, militerisme identik dengan kekerasan, dan Indonesia sendiri memiliki catatan kelam terkait tindakan brutal aparat, bahkan beberapa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Sala satunya, pembubaran Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sebuah organisasi perempuan progresif yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S 1965.
Rezim militeristik saat itu menggambarkan Gerwani adalah kelompok propaganda rezim guna mendiskreditkan gerakan perempuan yang bersifat radikal dan anti-patriarki. Para anggota organisasi harus mengalami penyiksaan, pelecehan seksual hingga pembunuhan.
Selain itu, kontrol militer di kehidupan politik dan sosial akan berakibat pada aktivisme perempuan sulit berkembang. Meski organisasi perempuan diizinkan beroperasi, seperti Dharma Wanita dan PKK, mereka diarahkan untuk mendukung negara dan militer, dengan fokus pada peran domestik perempuan. Contoh lain adalah kasus aktivis buruh Marsinah yang diculik, disiksa, diperkosa dan dibunuh pada Mei 1993 usai memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik tempatnya bekerja.
Perkara ini menjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan menarik perhatian dunia. Bagaimana tanggapan Sahabat Cantika soal pengesahan RUU TNI ini?
Dampak Pengesahan UU TNI pada Masyarakat Sipil
1. Pasar saham yang anjlok dan nilai rupiah melemah
Ketidakstabilan politik berpotensi membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun drastis, investor kehilangan kepercayaan, sehingga nilai tukar rupiah melemah.
Akibatnya, kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan tentu saja memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
2. Peluang karier terancam
UU ini memperbolehkan prajurit TNI menduduki jabatan sipil, impaknya warga sipil dapat kehilangan kesempatan dan jenjang karir di berbagai sektor pemerintahan.
3. Korupsi kian menjadi
Alih-alih memperkuat lembaga anti korupsi, dengan memberikan kewenangan besar kepada militer justru lebih memperkuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
4. Pembatasan kebebasan berpendapat
Adanya konsep satu komando di dalam militer berpotensi mempersempit ruang bagi masyarakat sipil untuk mengkritik dan mengawal kebijakan pemerintah secara bebas.
5. Potensi represi dan kekerasan
Berdiri lewat institusi angkatan bersenjata, keterlibatan TNI dalam ranah sipil berisiko meningkatkan tindakan represif dan kekerasan terhadap masyarakat.
6. Kemunduran sektor pariwisata
Ketidakstabilan politik dan sosial karena meningkatnya peran militer di ranah sipil berpotensi menurunkan minat wisatawan dan investor asing untuk datang ke Indonesia.
7. Kondisi negara jadi kacau
Meriahnya gelombang protes karena tekanan kebabasan masyarakat sipil akan menyebabkan ketidakstabilan, sehingga menyebabkan situasi politik dan sosial menjadi tidak aman.
Pilihan Editor: Kenapa Perempuan Lebih Sulit Didiagnosis ADHD Daripada Laki-laki?
NOVALI PANJI NUGROHO
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika